November 11, 2012

Jeritan Hati Sang Nelayan



“Jeritan Hati Sang Nelayan”

Dahulu kami tersenyum,
Dahulu kami tertawa,
Kini kami termenung,
Terdiam melihat kapal yang tua tanpa hasil tangkapan..
Makan apa kami..
Kemana lagi kami harus mencari ikan..
Di saat kondisi seperti ini,
Tidak ada tempat untuk mengadu..
Terisak tangis bocah nelayan..
Meminta makan kepada si Bapak…
Anak kami makan apa..
Untuk menyekolahkan mereka saja, tidak terpikir oleh kami,,
Apa ini balasan dari si Tuan yang duduk di Gedung Megah itu..
Kami kerja siang malam mereka hanya duduk tertawa,
Menanti ikan datang…
Dimana keadilan itu,
Mungkinkah hanya di surga..
Tuan,

Analisis Organoleptik

Dewasa ini untuk menjual suatu produk perikanan dibutuhkan kriteria khusus. Misalnya, melihat dari bentuk fisik dan kandungan zat di dalamnya. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu standar yang telah ditetapkan untuk menjamin mutu dari produk tersebut. Standar yang telah ditetapkan berupa standar analisis yang mengamati dari berbagai faktor. Tujuan dari standar analisis ialah untuk menjamin kualitas produk. Produk-produk yang akan dijual, sebelumnya akan diamati bentuk fisik dari produk tersebut. Setelah memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Produk tersebut akan dipasarkan dan dijual ke pasar baik lokal maupun manca negara.
Kriteria-kriteria yang telah ditetapkan merupakan keputusan yang telah dibuat oleh lembaga pemerintahan. Lembaga pemerintahan tersebut ialah Badan Standarisasi Nasional. Lembaga ini bertujuan mengkaji dan menyusun kebijakan nasional di bidang standarisasi nasional. Standar Nasional Indonesia (SNI) merupakan standar yang berlaku secara nasional di Indonesia. Dalam perumusannya ditetapkan oleh panitia teknis yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional. Standar Nasional Indonesia dirumuskan dengan memenuhi standar yang telah ditetapkan WTO berupa Keterbukaan, Transparansi, Tidak memihak, Efektif dan relevan, Koheren, serta Berdimensi untuk pembangunan (http://www.bsn.go.id/sni/about_sni.php).
Di dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) ditetapkan beberapa kriteria berupa bentuk fisik, kimiawi, dan biologis. Kerusakan fisik terjadi karena penurunan kualitas disebabkan oleh benturan atau batu yang merusak kualitas produk. Kerusakan kimiawi terjadi karena produk mentah perikanan terkontaminasi bahan-bahan kimia. Kerusakan biologis disebabkan oleh bakteri pembusuk. Bentuk fisik dari  produk perikanan dapat diuji dengan metode analisi organoleptik.
Metode analisis organoleptik adalah pengujian yang didasarkan pada proses pengindraan.  Pengindraan diartikan sebagai suatu proses fisio-psikologis, yaitu kesadaran atau pengenalan alat indra akan sifat-sifat benda karena adanya rangsangan yang diterima alat indra yang berasal dari benda tersebut. Pengindraan dapat juga berarti reaksi mental (sensation) jika alat indra mendapat rangsangan (stimulus). Reaksi atau kesan yang ditimbulkan karena adanya rangsangan dapat berupa sikap untuk mendekati atau menjauhi, menyukai atau tidak menyukai akan benda penyebab rangsangan. Kesadaran, kesan dan sikap terhadap rangsangan adalah reaksi psikologis atau reaksi subyektif. Pengukuran terhadap nilai / tingkat kesan, kesadaran dan sikap disebut pengukuran subyektif atau penilaian subyektif. Disebut penilaian subyektif karena hasil penilaian atau pengukuran sangat ditentukan oleh pelaku atau yang melakukan pengukuran.
Jenis penilaian atau pengukuran yang lain adalah pengukuran atau penilaian suatu dengan menggunakan alat ukur dan disebut penilaian atau pengukuran instrumental atau pengukuran obyektif. Pengukuran obyektif hasilnya sangat ditentukan oleh kondisi obyek atau sesuatu yang diukur. Demikian pula karena pengukuran atau penilaian dilakukan dengan memberikan rangsangan atau benda rangsang pada alat atau organ tubuh (indra), maka pengukuran ini disebut juga pengukuran atau penilaian subyketif atau penilaian organoleptik atau penilaian indrawi. Yang diukur atau dinilai sebenarnya adalah reaksi psikologis (reaksi mental) berupa kesadaran seseorang setelah diberi rangsangan, maka disebut juga penilaian sensorik.
Rangsangan yang dapat diindra dapat bersifat mekanis (tekanan, tusukan), bersifat fisis (dingin, panas, sinar, warna), sifat kimia (bau, aroma, rasa). Pada waktu alat indra menerima rangsangan, sebelum terjadi kesadaran prosesnya adalah fisiologis, yaitu dimulai di reseptor dan diteruskan pada susunan syaraf sensori atau syaraf penerimaan. Mekanisme pengindraan secara singkat adalah :
·         Penerimaan rangsangan (stimulus) oleh sel-sel peka khusus pada indra
·         Terjadi reaksi dalam sel-sel peka membentuk energi kimia
·         Perubahan energi kimia menjadi energi listrik (impulse) pada sel syaraf
·         Penghantaran energi listrik (impulse) melalui urat syaraf menuju ke syaraf pusat otak atau sumsum belakang.
·         Terjadi interpretasi psikologis dalam syaraf pusat
·         Hasilnya berupa kesadaran atau kesan psikologis.
Bagian organ tubuh yang berperan dalam pengindraan adalah mata, telinga, indra pencicip, indra pembau dan indra perabaan atau sentuhan. Kemampuan alat indra memberikan kesan atau tanggapan dapat dianalisis atau dibedakan berdasarkan jenis kesan, intensitas kesan, luas daerah kesan, lama kesan dan kesan hedonik. Jenis kesan adalah kesan spesifik yang dikenali misalnya rasa manis, asin.. Intensitas kesan adalah kondisi yang menggambarkan kuat lemahnya suatu rangsangan, misalnya kesan mencicip larutan gula 15 % dengan larutan gula 35 % memiliki intensitas kesan yang berbeda. Luas daerah kesan adalah gambaran dari sebaran atau cakupan alat indra yang menerima rangsangan. Misalnya kesan yang ditimbulkan dari mencicip dua tetes larutan gula memberikan luas daerah kesan yang sangat berbeda dengan kesan yang dihasilkan karena berkumur larutan gula yang sama. Lama kesan atau kesan sesudah “after taste” adalah bagaimana suatu zat rangsang menimbulkan kesan yang mudah atau tidak mudah hilang setelah mengindraan dilakukan. Rasa manis memiliki kesan sesudah lebih rendah / lemah dibandingkan dengan rasa pahit. Rangsangan penyebab timbulnya kesan dapat dikategorikan dalam beberapa tingkatan, yang disebut ambang rangsangan (threshold). Dikenal beberapa ambang rangsangan, yaitu ambang mutlak (absolute threshold), ambang pengenalan (Recognition threshold), ambang pembedaan (difference threshold) dan ambang batas (terminal threshold). Ambang mutlak adalah jumlah benda rangsang terkecil yang sudah mulai menimbulkan kesan. Ambang pengenalan sudah mulai dikenali jenis kesannya, ambang pembedaan perbedaan terkecil yang sudah dikenali dan ambang batas adalah tingkat rangsangan terbesar yang masih dapat dibedakan intensitas.
Kemampuan memberikan kesan dapat dibedakan berdasarkan kemampuan alat indra memberikan reaksi atas rangsangan yang diterima. Kemampuan tersebut meliputi kemampuan mendeteksi ( detection ), mengenali (recognition), membedakan ( discrimination ), membandingkan ( scalling ) dan kemampuan menyatakan suka atau tidak suka ( hedonik ). Perbedaan kemampuan tersebut tidak begitu jelas pada panelis. Sangat sulit untuk dinyatakan bahwa satu kemampuan sensori lebih penting dan lebih sulit untuk dipelajari. Karena untuk setiap jenis sensori memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda, dari yang paling mudah hingga sulit atau dari yang paling sederhana sampai yang komplek (rumit).(http: nayakaku.files.wordpress.com)

Akuakultur



Akuakultur sebagai upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan pangan telah dimulai ribuan tahun yang lalu, dan sejak era tahun 1970-an kegiatan tersebut nampak mulai berkembang. Kegiatan budidaya ikan mengalami perkembangan lebih pesat sekitar tahun 1980-an setelah manusia mulai menyadarai bahwa ketersediaan ikan dan produk-produk tangkapan dari alam menjadi semakin terbatas. Fenomena penurunan hasil tangkapan nelayan terjadi di beberapa negara dan dirasa semakin menghawatirkan. Barnabe (1994) menyatakan bahwa kemampuan laut dalam memenuhi tangkapan yang berkesinambungan hanya terbatas sekitar 100 juta ton per tahun, sementara dengan terus meningkatnya populasi penduduk dunia jumlah tangkapan ikan tersebut tidak akan mampu lagi memenuhi kebutuhan. Sebagai salah satu jawaban untuk menjamin ketersediaan sumber pangan adalah dengan pengembangan kegiatan budidaya. Pada tahun 1995, produksi udang, ikan, moluska serta tumbuhan air mencapai total 120,7 juta ton (FAO, 1997). Dari angka tersebut kegiatan budidaya baru menyumbang sekitar 21 %. Indonesia sebagai salah satu negara terbesar dalam produksi hasil perikanan tentunya selalu berusaha meningkatkan produksinya dari kegiatan budidaya baik melalui upaya intensifikasi maupun ekstensifikasi. Upaya ekstensifikasi untuk wilayah Jawa, Bali dan Sumatera akan semakin sulit dilaksanakan karena adanya persaingan atas penggunaan lahan dengan sektor lain. Langkah intensifikasi tentunya harus ditempuh untuk meningkatkan produksi walaupun dengan berbagai konsekuensi yang ditimbulkan, di antaranya terjadinya penurunan kualitas lingkungan.

Di Indonesia, kegiatan budidaya ikan pernah mengalami permasalahan yang hebat di era 1980-an ketika terjadi wabah Aeromonas hidrophila yang menyerang ikan. Sedangkan budidaya udang mengalami goncangan yang dahsyat di saat berbagai penyakit melanda tambak-tambak di Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Rangkaian kegagalan karena serangan penyakit di tahun 1995-an mengakibatkan sejumlah tambak di Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak lagi dapat difungsikan untuk memelihara udang windu. Terakhir, serangan koi harves virus (KHV) yang menyerang golongan ikan mas pada tahun 2002 hingga 2004 lalu sempat menggoncangkan kegiatan perikanan Indonesia (Sunarto, 2005). Kerugian materi yang dialami oleh para pembudidaya ikan tawar tersebut sangat besar karena ikan mas termasuk ikan yang populer dan budidayanya tersebar luas di Indonesia (Taukhid dkk., 2005).